Dorong Sertifikasi Pengurangan Emisi, YBUL dan UNDP laksanakan FGD Penyusunan DRAM
Perubahan iklim dan bencana alam yang tengah terjadi telah mempengaruhi berbagai sektor kehidupan, mulai dari pertanian, infrastruktur, hingga kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya menanggulangi hal tersebut, United Nation Development Program (UNDP) Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Bina Usaha Linkungan (YBUL) laksanakan ‘Focus Group Discussionverifikator PT Sucofindourangan Emisi melalui Penyusunan Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) di Yello Hotel, Jakarta Selatan, pada Jumat (15/11).
FGD tersebut dihadiri oleh para peserta yang berlatar belakang mewakili perusahaan yang akan dan sedang menyusun Dokumentasi Rencana Aksi Mitigasi (DRAM) sehingga para peserta dapat lebih memahami langkah-langkah serta berbagai macam pengetahuan yang perlu diperhatikan selama menyusun DRAM.
Membuka acara, Yani Witjaksono sebagai Direktur Eksekutif YBUL menyampaikan kegiatan tersebut merupakan seri rangkaian dari program “Climate Promise” yang dicanangkan oleh UNDP di 140 negara dan wilayah teritori untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan beradaptasi menghadapi perubahan iklim yang kini sedang terjadi di bumi.
Yani menjelaskan bahwa saat ini kondisi bumi sedang mengalami masa darurat yang diakibatkan perubahan iklim dan emisi Gas Rumah Kaca. Tidak banyak kejadian yang langka telah terjadi seperti bencana alam yang tidak pernah terduga sebelumnya.
“Bencana banjir bandang yang tengah terjadi di Spanyol tentu tidak ada yang pernah menduga dan menjadi yang terparah. Dan begitupun para peneliti menyatakan bahwa akan muncul badai-badai lainnya setelah banjir tersebut”, jelas Yani.
Melalui kegiatan ini, Yani mengharapkan para peserta sudah mulai mengetahui bagaimana konsep mitigasi perubahan iklim, mengetahui metodologi, rumus perhitungan dan berbagai kebutuhan penyusunan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM).
“Lebih utamanya adalah para peserta dapat meningkatkan kapasitas dalam merancang program aksi mitigasi dan penyusuman DRAM sehingga siap untuk divalidasi oleh Lembaga Verifikator,” tambahnya.
Mewakili UNDP Indonesia, Hery Tabadepu sebagai Climate Promise National Project Coordinator, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan inisiatif awal yang dilaksanakan oleh UNDP dan YBUL untuk mendukung target reduksi emisi yang tercantum dalam dokumen National Determined Contribution (NDC) Indonesia melalui berbagai sektor.
“Mulai dari private sector sampai kelompok masyarat akan terlibat sehingga dapat dipersiapkan untuk ikut andil dalam pasar karbon domestik. Tidak hanya semata untuk jual beli saja, akan tetapi hal ini merupakan langkah panjang untuk menginovasi multistakeholder agar ikut terlibat dalam mengurangi emisi sehingga target nasional dapat lebih mudah tercapai,” tambah Heri.
Lebih lanjut, Heri menjelaskan mengenai aksi Climate Promise yang sedang dijalankan UNDP Indonesia yang merupakan serangkaian kegiatan untuk berjanji untuk menjaga iklim dunia. Membersamai dengan YBUL, pihaknya berencana untuk mendukung para stakeholder dalam proses penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi Indonesia (SPEI).
“Manfaatnya adalah ini sebagai langkah untuk mengidentifikasi dan juga ikut andil dalam memperbaiki skema perdagangan karbon di Indonesia. Karena sejak pertama kali diluncurkan oleh Presiden RI pasar karbon masih belum maksimal sebab sepi peminat,” tambahnya.
Memasuki sesi diskusi, sesi diskusi dibuka melalui pemaparan materi oleh Toto Iswanto sebagai keynote speaker yang merupakan Operational Subdivision Head of PMU Climate Solution and Sustainable Energy (SBU SERCO) PT Sucofindo. Di sesi pertama, pemaparan materi membahas bagaimana pemanasan global yang disebabkan oleh Gas Rumah Kaca.
“Pemanasan global terjadi pada awalnya dikarenakan radiasi energi yang dipancarkan oleh matahari ke bumi tidak dapat terserap dengan baik karena lapisan gas rumah kaca yang menebal sehingga menimbulkan energi matahari tersebut terperangkap dan meningkatkan suhu atmosfer bumi,” jelas Toto.
Menurut riset yang dikemukakan World Economic Forum Global Risk Report pada tahun 2023 dalam Climate Change Top 10 Years Global Risk by Severity, diprediksi bahwa dalam 10 tahun kedepan perubahan iklim akan menyebabkan berbagai krisis di bumi seperti migrasi skala besar karena banyaknya bencana alam, krisis sumber daya alam, kehilangan biodiversity dan berbagai macam ancaman sosial lainnya seperti meningkatkanya konfrontasi Geoekonomi, polarisasi sosial, hingga meningkatnya tindakan kriminal karena krisis.
Selanjutnya, Toto menjelaskan mengenai upaya untuk mengurangi dampak dari efek GRK di antaranya adalah penerapan carbon neutral dan net zero emission. Carbon Neutrality merupakan kondisi setimbang antara jumlah CO2 yang dilepaskan ke atmosfer dan yang dibuang dari atmosfer. Sedangkan net zero emission adalah kondisi dimana tercapainya keseimbangan antara semua emisi GRK yang dihasilkan dan emisi GRK yang di buang dari atmosfer.
“Sehingga untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius, kita perlu meraih emisi net zero carbon tidak lebih lambat dari pada tahun 2050,” tambah Toto.
Membahas terkait dengan perkembangan regulasi nilai ekonomi karbon dalam upaya untuk mereduksi emisi GRK global. Berdasarkan data riset yang dikemukan PBB berupa “Net Zero Coalition”, dibutuhkan pereduksian sebanyak 45 persen yang dibutuhkan pada tahun 2040 sehingga dapat menjaga kenaikan suhu tidak melebihi 1,5 derajat celsius.
“Untuk mencapai hal tersebut, saat ini carbon pricing atau perdagangan karbon sedang diupayakan untuk menurunkan tingkat karbon dunia. Pasar karbon memperdagangkan karbon kredit yang dihasilkan melalui aktivitas mitigasi secara voluntary,” jelasnya.
Indonesia sendiri telah membentuk sebuah roadmap untuk berkomitmen dalam mencapai “Target Pengendalian Perubahan Iklim dan Pembangunan”. Target tersebut menyasar penurunan emisi GRK sebanyak 31,89% tanpa bantuan internasional dan 43,20% dengan bantuan internasional yang dicapai dalam Enhanced NDC (tahun 2022).
Indonesia telah merancang strategi jangka panjang dalam upaya menurunkan karbon serta ketahanan iklim melalui LTS-LCCR (Long term strategy – for Low Carbon and Climate Resilience) 2050. Strategi tersebut menyasar pencapaian NDC pertama Indonesia ditarget selesai pada tahun 2030, dan net zero emission pada tahun 2050 atau lebih awal.
Sehingga melalui Perpres 98 tahun 2021 terdapat sebuah payung hukum penyelenggaraan skema Nilai Ekonomi Karbon di Indonesia untuk mengendalikan perubahan iklim. Tata laksana skema tersebut diatur dalam Peraturan Menteri teknis sector-sub-sector sesuai Nationallity Determined Contribution (NDC).
“Adapun bagi industri atau perusahaan harus memenuhi Sistem Registri Nasional (SRN) untuk dapat mengimplementasikan Nilai Ekonomi Karbon di Indonesia melalui mekanisme sertifikasi pengurangan emisi,” tambah Toto.
Dalam melaksanakan Net Zero Emission terdapat langkah-langkah penting yang harus dilakukan yang terbagi menjadi dua upaya yang pertama adalah Upaya Komitmen atau Pemenuhan melalui pengukuran, identifikasi dan inisiatif prioritas, serta penentuan target dan peta jalan dekarbonisasi. Upaya yang kedua adalah penciptaan nilai tambah melalui pelaporan dan pengungkapan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM) serta Laporan Capaian Aksi Mitigasi (LCAM), monitoring, validasi dan verikiasi dalam skema SRN Pengendalian Perubahan Iklim, dan yang terakhir adalah value creation atau perdagangan karbon.
Setelah paparan materi, para peserta melaksanakan diskusi serta melakukan simulasi pengisian DRAM mulai dari penentuan metodologi, pengisian form SRN hingga identifikasi mitigasi yang dapat diterapkan oleh para peserta sesuai dengan kapasitas perusahaannya yang difasilitasi dan didampingi oleh Toto Iswanto yang juga sebagai salah satu validator dan verifikator PT Sucofindo.